R, Nestapa
2 min readJun 14, 2024
https://pin.it/4HWvvUQyI

Di persimpangan jalan yang gelap dan dingin, dan tak ada kebisingan seperti di kota-kota kecuali isi kepala, aku menengadah pada langit yang tampak tak tahan lagi ingin menumpahkan tangisnya ke bumi, sementara aku masih memendam semuanya sendiri dalam persembunyian paling sunyi. Terlalu banyak perasaan yang tak bisa kutafsirkan dalam bentuk paragraf dan perbincangan. Lidahku kelu, dan nafasku membisu ketika sesuatu memenuhi dada dan menciptakan suara-suara pada tempurung kepala.

Di setiap keramaian yang menyerang kesunyianku, aku begitu sendirian. Hingga pada akhirnya kusadari bahwa aku keliru. Selama ini, aku tak pernah benar-benar sendiri, ada Dzat yang maha menemani dan mendengar setiap rintihan di sela-sela malam yang kulalui.

Tuhan, aku berlari terlalu jauh darimu, hingga keluhku mesti berteriak dan jawabanmu tak mampu kudengar dengan jelas. Entahlah, Tuhan, aku hanya ingin bisikku terdengar hingga langit terakhir, namun justru aku membuat jarakku begitu renggang denganmu, sang pemilik seluruh langit.

Tuhan, jauh darimu adalah kegelapan paling nyata. Tapi kau tak pernah tak memberiku cahaya. Kasih sayangmu adalah kesucian yang sering kali kunodai. Begitu bodohnya aku yang terlalu sibuk mencintai dan mendambakan ciptaanmu hingga aku abai terhadapmu sebagai Pencipta dan Yang Maha Mencintai.

Tuhan, dalam sendiri dan sunyi, kini aku hanya ingin mengenalmu dan tenggelam dalam keromantisanmu. Biarkanlah jiwa yang terlanjur nista ini kembali menjumpaimu di tengah dingin dan keremangan malam. Lalu kubisikkan sebuah isyarat pada akhir sajak.
“Tuhan, nafasilah diriku dengan hembusan rahmatmu, dan hidupilah diri ini dengan cintamu yang sering kukhianati.”