R, Nestapa
2 min readMay 28, 2024
Photo by Andrik Langfield on Unsplash

Hatiku sesak. Hatiku rapuh. Hatiku perih. Aku nestapa, Malik. Ini bukan salahmu, sungguh. Cinta yang mengutukku menjadi seperti ini. Tak ada manusia yang ingin cintanya tak terbalaskan. Yang ada hanya manusia yang cintanya tak kunjung berbalas lalu terpaksa mengikhlaskan. Dan aku empati terhadap nasibku sendiri.

Cinta selalu datang tanpa permisi dan menyeret korbannya ke dalam lubang kenestapaan. Meskipun begitu, cinta pula yang mengajariku banyak hal. Bukan hanya aku, mungkin juga kau.

Terkadang aku ingin meluapkan emosi hati yang meluap-luap sampai menembus sel-sel otak. Mengatakan apa yang sudah siap meledak di ujung lidah. Mengeluarkan semua beban perasaan yang terus-terusan aku simpan sampai rasanya begitu sesak. Tapi, aku selalu mengurungkan niat-niat itu. "Kepada siapa dan untuk apa?" batinku. Aku selalu menyadari dan menyadarkan diri bahwa tak kan ada satu pun manusia yang akan benar-benar paham apa yang aku rasakan. Tak kan pernah benar-benar ada satu pun manusia yang peduli terhadap perasaan dan pikiran manusia lainnya. Hanya Tuhan yang memahami apa yang kita rasakan dan apa isi pikiran kita. Bahkan Dia lebih tahu tentang perasaan kita dibanding kita sendiri. Itu yang selalu aku tegaskan kepada diriku sendiri.

Semoga kau selalu bahagia, Malik. Setidaknya nikmatilah pilihan hidupmu. Aku tak pernah punya kalimat yang benar-benar menggambarkan kejatuhanku padamu. Terlalu rumit. Susunan kata "aku mencintaimu" yang mungkin aku bisa mengatakannya sejuta kali kepadamu pun tetap tak bisa menggambarkan perasaan rumit ini.

Sebanyak apapun puisi yang kubuat, sajak yang kugarap, prosa yang kususun rapi—yang kutujukan kepadamu—pun tak kan pernah bisa menarikmu ke dalam genggamanku. Aku tahu. Aku tahu banyak tentang segala kemungkinan-kemungkinan terburuk.